Sabtu, 05 Desember 2009

Cicak vs Buaya


Keberhasilan POLRI (Polisi Republik Indonesia) dalam mengungkap berbagai aksi terorisme di Indonesia cukup berhasil dan patut diacungi 2 jempol. Mulai mengungkap dan menangkap aktor utama Bom Bali 1, yang telah dieksekusi mati Amrozi, Ali Gufron, dan Imam Samudra. Menembak mati pasangan emas Nordin M. Top, Dr Azahari pada bulan Maret 2005 lalu di Batu. Tak hanya sampai disitu saja, usai Bom Kuningan jilid 2 pada 17 juli 2009 lalu POLRI bergerak cepat, Ibrahim salah satu pelaku bom Ritz Carlton yang juga tukang bunga di Hotel Ritz Carlton tertembak mati dalam penyerbuan tim densus 88 POLRI di Temanggung, Jawa Tengah. Di lain tempat, tepatnya di Perumahan Puri Indah, Depok, di perumahan yang padat penduduk itu Tim Densus 88 Anti Teror POLRI berhasil melumpuhkan dua teroris. Tak hanya itu POLRI berhasil menyita barang bukti yang begitu luar biasa yang rencana akan digunakan meledakan kediaman pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas, Bogor. Menjelang lebaran densus 88 seakan mendapat berkah dari Bulan Ramadhan dengan menyelesaikan THR-nya (Tugas Hari Raya). Tak tanggung Densus 88 berhasil melumpuhkan lima teroris salah satunya yakni buronan teroris nomor wahid di Indonesia yakni Nordin M. Top. Kapolri Bambang Hendarso Danuri berkata, “Ini berkah dari Bulan Suci Ramadhan, kita bisa menembak mati buronan teroris selama 7 tahun ini yakni Nordin M. Top, ini dipastikan setelah ada kecocokan di 13 titik sidik jari pelaku dengan data yang kami peroleh dari Polisi Malaysia”. Waktu berjalan, peran Nordin diperkirakan digantikan oleh Syaefudin Zuhri, tapi lagi - lagi Densus 88 POLRI bergerak sigap, berawal dari pengkhianatan kurir Syaefudin Zuhri bernama Fajar, polisi melalui Tim Densus 88 berhasil melumpuhkan Syaefudin Zuhri dan adiknya Syahrir di rumahan kost di sekitar UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat., Jakarta Selatan.
Lain terorisme lain pula dengan kasus yang kini melibatkan POLRI. Ibarat tupai, sepandai - pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Sepandai - pandainya POLRI, pasti punya borok juga. Berawal dari kasus penetapan direktur PT Masaro, Anggoro Widjojo sebagai tersangka dalam kasus korupsi dan suap proyek Pelabuhan Tanjung Siapi - api pada 22 Juni 2008 yang juga melibatkan mantan anggota DPR RI Yusuf Erwin Faisal. Kasus kedua yakni pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen yang melibatkan Ketua KPK non aktif Antasari Azhar sebagai tersangka. Satu kasus lagi yakni Kasus Bank Century, semua kasus tersebut menjadikan bak sebuah drama teatrikal bagi POLRI lawan KPK.
Surat testimoni Antasari Azhar yang menyebutkan 4 pimpinan KPK menerima uang dari Anggodo Widjojo (adik Anggoro Widjojo). Dalam testimoni itu Antasari juga menyebutkan dirinya juga pernah bertemu dengan Anggodo Widjojo di Singapura saat proses penyelidikan berlangsung. Dari sinilah POLRI memanggil 4 pimpinan KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) menjadi saksi. Pada awal Oktober lalu secara mengejutkan Polisi menahan 2 dari 4 pimpinan KPK yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra Marta Hamzah oleh Satreskrim (Satuan Reserse dan Kriminal) Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan menerima uang suap dari Anggodo Widjojo seperti yang tercantum dalam testimoni Antasari Azhar. Setelah menjalani tahanan kota, akhirnya Bibid dan Chandra resmi menjadi tahanan Polda Metro Jaya. “Bibit dan Chandra resmi kita tahan”, jelas Kadiv Humas Polda Metro Jaya Nanan Sukarna dalam konfrensi pers dengan wartawan. Tak berapa lama Kabareksrim Polda Metro Jaya Komjen Susno Duadji mengubah kasus hukum yang menjerat Bibit dan Chandra dari tadinya dugaan kasus suap menjadi penyalah gunaan wewenang pemeriksaan tersangka korupsi Anggoro Widjojo. Publik pun terhentak hingga muncul istilah cicak lawan buaya, cicak diibaratkan sebagai KPK yang diobrak - abrik dan begitu lemah yang akan coba dihancurkan, sedangkan buaya diibaratkan sebagai POLRI yang akan memakan dan menghancurkan KPK.
Kedaulatan KPK yang telah diatur - atur undang - undang No. 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tersebut seakan dinodai oleh POLRI, dalam UU yang mengatur kerja KPK tahun 2004 disebutkan bahwa KPK berhak melakukan penyelidikan, penyadapan, pencekalan dan penetapan terhadap seorang yang melakukan tindak pidana korupsi. Inilah yang menjadi perdebatan di negara kita, dalam undang - undang tersebut KPK jelas berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan pihak lain.
Klimaks dari kasus POLRI vs KPK ini tentu saat sidang MK (Mahkamah Konstitusi) pada 2 November 2009 lalu. Dalam sidang MK ini KPK memberikan hasil rekaman pembicaraan telepon hasil penyadapan KPK antara Anggodo Widjojo, Edi Sumarsono, Alex dan Bonaran Sirait. Tak hanya itu dalam rekaman itu juga menyebutkan berbagai nama seperti Ari Muladi, mantan wakil ketua MA Wisnu Subroto, Komjen Polisi Susno Duadji, dan berbagai pejabat tinggi POLRI. Dalam rekaman itu Anggodo Widjojo berusaha membebaskan sang kakak Anggoro Widjojo yang memang pada akhirnya bebas juga. Anggodo menyerahkan sejumlah kepada pimpinan KPK melalui Ari Muladi, di rekaman itu juga menyebutkan bahwa Anggodo meminta tolong kepada Trunojoyo 3 yang diduga Komjen Polisi Susno Duadji. Tak hanya itu Anggodo juga menyebutkan istilah “borongan” dalam upaya pembebasan sang kakak. Anggodo juga mengancam Bibit dan Chandra dimasukkan dalam penjara supaya mereka jera, lalu membunuhnya di dalam penjara, rekaman ini terdengar jelas antara Anggodo Widjojo dengan seseorang yang diduga bernama Alex dengan menggunakan bahasa Jawa. Anggodo juga menyebut - nyebut nama RI 1 yang tak lain adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Munculnya kasus rekaman tersebut menyebabkan berbagai aksi demonstrasi oleh masyarakat, kebanyakan dari mereka menuntut Presiden SBY turun tangan menangani masalah ini. Tuntutan ini akhirnya dikabulkan, Presiden membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Pimpinan KPK non aktif Bibit dan Chandra atau lebih disebut dengan TPF (Tim Pencari Fakta). Tim yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution (Anggota Wantimpres), Koesparmono Ihsan (Mantan anggota Komnas HAM) sebagai wakil, Denny Indrayana (Staf Khusus Presiden Bidang Hukum) sebagai sekretaris, Amir Syamsudin (Praktisi Hukum), Todung Mulya Lubis (Praktisi Hukum), Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramedina), Hikhamanto Juwana (Guru Besar Fakultas Hukum UI), Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah) sebagai anggota. TPF ini meminta Kabareksrim Polda Metro Jaya Komjen Susno Duadji mundur dari jabatannya, membebaskan Bibit dan Chandra, serta menahan Anggodo Widjojo, seperti disampaikan Ketua TPF Adnan Buyung Nasution kepada wartawan 4 November lalu.
Tak hanya TPF saja yang meminta pembebasan Bibit dan Chandra, tapi juga berbagai elemen masyarakat baik dari LSM, mahasiswa, eks anggota KPK, eks anggota DPR RI, pensiunan polisi hingga pelajar. Unjuk rasa pro cicak dimana - mana, di Jakarta ratusan orang berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia melakukan demo mendukung KPK. Sementara itu Mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki, Marwan Batubara (Mantan Senator), Adhie M. Masardi (Mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahaman Wahid sekaligus Ketua Komisi Bangkit Indonesia) serta Ali Mochtar Ngabalin (mantan Anggota DPR RI) juga menyuarakan dukungan terhadap KPK dengan mendatangi kantor KPK. Para artis dan sejumlah komunitas facebookers juga menggelar aksi serupa dengan diisi oleh Slank, Netral, dan Happy Salma.Netral bahkan sampai meng-aransemen lagu Garuda di Dadaku menjadi KPK di Dadaku, sebagai bentuk dukungannya terhadap KPK. Hal menarik lain yakni rekaman telepon hasil sadapan KPK yang diperdengarkan di sidang MK laris dijadikan NSP (Nada Sambung Pribadi) seperti yang terjadi di Kota Solo. Beberapa masyarakat mengaku penasaran dengan isi percakapan tersebut sehingga menjadikannya sebagai NSP. Tentu kita semua berharap kasus ini dapat terselesaikan dengan adil, sekaligus menjadi cerminan pemberantasan mafia peradilan yang marak di Indonesia ini. Semoga ke depannya peradilan Indonesia kian dewasa setelah mengambil pelajaran dari kasus cicak vs buaya ini. Ayo KPK meski badai Tornado menerjangmu ku harap kau tetap berdiri tegap menunjukkan taringmu memberantas kasus - kasus korupsi di Indonesia seperti harapan ±200 juta penduduk di negara ini.
Avi Rista M. (XII IPS 1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar