Jumat, 26 Juni 2009

Misteri Hati dan Sebuah Kelas

Jam menunjukkan pukul 23.00 malam, keadaan kian gelap dan sunyi dibawah rintikan gerimis, udara malam kian dingin dengan hembusan angin malam. Aku masih tak bisa memejamkan mata, padahal paginya aku harus bersekolah. pikiranku menerawang jauh masa lalu ingatkan aku pada seorang gadis bernama Fani “Ya Tuhan, mengapa dia masih saja menghantuiku?” kataku pelan. “Apakah aku masih mengharapkannya?” kataku pelan sambil bangkit dari tempat tidurku. Beberapa menit kemudian aku keluar kamarku, aku intip suasana luar rumah dari tirai jendela di ruang tamu, rupanya hujan sudah mulai reda, namun udara dingin masih saja terasa. Beberapa saat kemudian aku berjalan menuju meja makan tak sengaja kutemukan sepotong roti di sana, roti itu membuatku lapar, aku pun ambil roti itu dan kembali ke ruang tamu memakannya seraya duduk di kursi. Usai makan roti aku berharap aku dapat ngantuk lalu tertidur lelap, tapi apa yang terjadi gadis itu masih dalam pikiranku, pikiranku masih mengingat gadis berambut panjang dengan senyumannya yang manis itu. Sejenak aku kembali masuk ke kamarku mengambil sepucuk surat darinya yang masih ku simpan rapi di lemari belajarku. Tak berapa lama, aku buka pintu ruang tamu dan aku pun keluar rumah menuju teras rumah, udara dingin tak pelak langsung menyerbuku. Pelan –pelan ku buka surat darinya di dalam surat tersebut tertulis sebuah puisi, dia memang hobi menulis puisi sama sepertiku. Ku baca kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan bait demi bait.
Maaf ku telah sakitimu
Ku ingin kau selalu isi hatiku
Saat ku senang maupun susah
Karena ku berharap kau hadir
Seolah menjadi malaikat surga
Yang selalu buatku tersenyum
Hari – hari yang telah terbawa
Oleh sentuhan angin mengajakku
Tuk hidup dengan rumput ilalang
Yang selalu hijau dan beri semangat
Serpihan senyuman selalu kau ukir
Namun ku berpaling darimu
Namun ku tak setia di hatimu
Begitulah sebuah puisi darinya yang tertulis rapi dalam sepucuk surat itu. Ku duduk sambil bersandar pada tiang di teras rumahku, hingga tak terasa air mataku keluar membasahi kertas berwarna biru darinya. Pikiranku menerawang jauh masa lalu kala aku masih sering bersamanya mempersiapkan sebuah acara pentas seni tahunan dan jalan sehat di sekolahku, kebetulan dalam panitia pentas seni itu aku menjadi ketuanya dan dia menjadi sekretaris 1.
Ketika pulang malam pukul 17.30, suasana masih gerimis, salah satu ruangan kelas di sisi utara sekolahku lampunya masih menyala terang, di dalamnya aku, Fani, guru kesenianku Bu Yuni, serta kedua teman sekelasku Agung dan Rizky yang kebetulan menjadi panitia sedang menyusun anggaran dana acara untuk mengajukan proposal. Hari itu hujan tampak setia menemani kami mulai siang hari hingga malam, adzan maghrib bergaung di masjid – masjid dan mushala – mushala, hujan agak reda, namun pekerjaan kami belum juga selesai. Saat pusing – pusingnya aku mencoba bermaksud bercanda mencairkan suasana dengan cara menakut – nakutinya, Fani tampak begitu takut hingga begitu mendekat padaku.
“ Jangan begitu dong! Aku takut nih!” katanya sambil memukul pelan lenganku.
“ Hehehe..., di belakangmu itu ada apa?” kataku semakin membuatnya takut
“ Awas kamu sekali lagi bilang begitu aku teriak nih! “ ancamnya dengan mimik yang tegang.
“Hahaha... belakangmu ada kursi dan meja Fan!” Agung temanku menyahut.
“ Hahahahaha!” semua tertawa kecuali Fani.
Kontan saja ini membuat suasana agak sedikit cair setelah ketegangan yang begitu terasa karena otak yang mulai error dan fisik yang terkuras. Jam 18.30 kami putuskan pulang dan melanjutkannya besok, keadaan yang begitu gelap dan suasana dingin membuatnya ketakutan dan memintaku melindunginya. Kedinginan, pegal, dan takut bercampur satu dalam pikiran dan jiwanya, aku pun juga merasa setali tiga uang. Ku lihat dia masih bisa tersenyum membuat merasa sedikit lega, karena melihat wajahnya yang ketakutan dan kelelahan dengan balutan seragam sekolah yang memang masih dipakainya.
Aku pun menawarinya boncengan untuk mengantarnya pulang, tanpa berpikir panjang dia langsung mengiyakan penawaranku, lalu naik ke atas motorku yang telah ku parkir di depan kelasku sejak pulang sekolah. Agung dan Rizky menemani guruku berjalan di bawah rintik – rintik hujan menuju gerbang sekolah. Dia begitu ketakutan saat melihat keadaan sekitar yang gelap, namun aku berhasil meyakinkannya bahwa tidak akan terjadi apa – apa.
“Tenang aja kan ada aku, sudahlah jangan berpikir macam – macam itu malah membuatmu takut.” nasihatku padanya.
“Ya ya! terima kasih sudah mau menemani aku!” katanya padaku.
Baru saja tiba di gerbang sekolah, tiba – tiba saja ayahnya datang menjemputnya.
“Maaf pak, tadi ini menyusun anggaran dana buat pensi besok makanya sampai malam, tadi mau pulang tapi hujannya tidak reda – reda, ini baru mau saya antarkan pulang anaknya!” aku memberi penjelasan pada ayahnya.
“Ya Dik sama – sama.” balas ayahnya sambil ku jabat tangannya.
“Terima kasih ya..sudah menemani aku!” katanya sambil dari motorku.
“ Oke santai sajalah” balasku.
“Aku pulang dulu ya! jangan lupa sampai rumah sholat isya dan makan dulu, besok kita melanjutkan penyusuunan anggaran dana yang tadi.” katanya padaku sambil memperlihatkan senyum manisnya.
“ Thanks! kamu juga jangan lupa shalat isya dan makan, dijaga kesehatannya oke!” balasku padanya
Dia pun bergegas naik ke motor ayahnya, saat meninggalkan aku sendiri di gerbang sekolah dia sekali lagi memperlihatkan senyum manisnya padaku. Baru beberapa meter perjalanan pulang dari sekolah tiba – tiba handphone berbunyi, ku lihat ternyata ada telepon dari Lina kekasihku, seketika itu aku berhenti dan melepas helm yang ku pakai.
“Assalamualaikum sayang!” sapa Lina mengawali pembicaraan.
“Walaikumsalam honey!” jawabku.
“ Lagi dimana sih yang? dari tadi aku telepon tidak kamu angkat!” katanya dengan nada genit.
“Ini mau pulang habis dari sekolah tadi aku kehujanan makanya baru bisa pulang.” balasku.
“ Baru pulang? ada acara apa sayangku? sudah shalat dan makan belum?” tanyanya dengan keheranan.
“Tadi aku nyusun anggaran dana buat pensi besok disekolahku, sudah begitu kehujanan lagi ini juga masih hujan tapi tak paksakan pulang, kalau shalat maghrib sih sudah tapi shalat isya’ dan makannya yang belum yang.” aku memberi penjelasan agak panjang.
“Aneh masak setiap hari rapat terus, pulang sampai larut lagi, pasti ada ceweknya yang lebih cantik dari aku kan?” tanya Lina dengan nada sedikit ngambek.
Kontan saja pertanyaan itu membuatku terdiam dan bengong sendir, ku ingat cewek yang ku bonceng tadi. Lina menyadarkanku dari lamunanku,
“ Sayang...Sayang... Kenapa kamu diam? kamu tidak apa – apa kan?” tanyanya agak cemas.
“ Eeehh... tidak apa –apa kok sayang, ya sudah aku pulang dulu nanti kalau sampai rumah insya Allah aku telepon lagi” jawabku dengan nada tergesa – gesa.
Beberapa hari kemudian sehabis pulang rapat seperti biasa ku antarkan dia pulang dan seperti biasa pula saat sampai di rumahnya yang tak jauh dari sekolahku aku shalat ashar dan berbincang – bincang dulu dengannya. Adzan maghrib bergema aku putuskan shalat di rumahnya, kami pun shalat berjama’ah. Usai shalat hidangan makanan telah siap di atas meja makannya, aku dipersilakan makan terlebih dahulu.
Usai makan ku putuskan untuk pulang karena masih ada pekerjaan rumah buat besok yang belum selesai ku kerjakan. Baru beberapa meter meninggalkan rumahnya, ban motorku tiba – tiba kemps, ku putuskan kembali ke rumahnya untuk meminjam pompa, selesai memompa motorku masih saja kempes, lau ku putuskan membawa ke tukang tambal ban.
“Di sini tukang tambal yang dekat di mana?” tanyaku padanya
Dia masuk ke dalam rumah dan menanyakan ke ayahnya, ku dengar percakapan dia dan ayahnya di ruang keluarga dari teras rumah.
“ Yah, Pak Bari jam segini buka tidak? ini temanku ban motornya bocor.” katanya pada ayahnya.
“ Langsung ke rumahnya saja” balas ayahnya sambil menghampiriku di teras rumah.
“ Antarkan ke Pak Bari saja Fan!” lanjut ayahnya kepada dia.
“ Di mana tempatnya?” tanyaku pada Dia.
“ Di gang sebelah ini dik, antarkan Fani temanmu!” ayahnya menyahut.
“ Ya Yah!” jawabnya.
Kami berdua pun jalan kaki menuju rumah Pak Bari tukang tambal ban di gang sebelah rumahnya. Sesampai di rumah Pak Bari, kami kembali ke rumahnya, ternyata ayahnya sudah menunggu di teras depan rumah.
“ Pak Barinya ada tidak?” tanyanya pada kami.
“ Ada tadi masih makan.” jawab kami kompak.
Ayahnya menyuruh ku masuk ke ruangan keluarga sambil melihat televisi, lelah, bau karena belum ganti pakaian, dan pusing bercampur satu dalam jiwaku. Beberapa saat kemudian aku dan dia kembali ke rumahnya Pak Bari, ternyata beliau baru saja selesai makan dan shalat sehingga baru akan mengecek di mana letak bocornya ban motorku, dengan sabar kami menanti dengan duduk di bangku yang ada di depan rumah belaiu, ku tatap wajahnya penuh perasaan. Selagi menunggu kami ngobrol – ngobrol, dia bercerita mengenai hubunganya dengan Kak Ade mantan pacarnya yang juga kakak kelas kami.
“ Bagaimana hubunganmu sama Kak Ade?” aku memancingnya.
“ Apaa sih bahas dia sudah tidak hubungan apa – apa aku sama Kak Ade.” jawabnya dengan menebar senyuman. Tiba – tiba saja Pak Bari memotong pembicaraan kami
“ Nak, ini bannya bocor pada tambalan lama yang sudah ditambal tapi karena kurang kuat lalu bocor lagi.” jelas Pak Bari padaku.
“ Ya, Pak! ini tidak perlu mengganti ban dalam yang baru kan?” jawabku sambil bertanya kembali.
“ Tidak perlu ini Bapak bisa mengatasinya.” jawab Pak Bari membuatku sedikit lega.
Kami pun melanjutkan obrolan kami, baru sebentar kami duduk tiba – tiba saja handphoneku. Ku lihat ternyata Lina kekasihku telepon, ku pun panik karena tidak kepadanya, sejenak ku biarkan handphoneku berbunyi
“ Telepon dari siapa sih kok tidak diangkat?” tanyanya padaku.
“ Eeee... dari...” kataku bingung.
“ Dari ceweknya ya...angkat saja dong tidak usah malu – malu nanti malah ceweknya marah lo...” katanya memotong pembicaraanku.
Aku pun angkat telepon dari kekasihku,
“Assalamualaikum Sayang” Lina mengucapkan salam padaku.
“ Walaikumsalam Honey” jawabku.
“ Lagi di mana sih sayang? telepon kok lama banget angkatnya?” tanyanya dengan nada curiga.
“ Lagi di tukang tambal ban nih..ini ban motorku bocor.” jawabku.
“ Sama siapa sih? yang darimana sih malam – malam begini masih ngeluyur saja.” Lina bertanya kembali.
“ Ini sama temanku, ouw tadi habis kerja kelompok.” jawabku dengan grogi.
“ Besok bisa antarkan aku berangkat sekolah tidak?” tanyanya.
“ Ouw besok yang...Insya Allah ku jemput jam 06.20 ya...!” kataku.
“ Ya! ku tunggu yang, cepat pulang ya sayangku, cintaku, hati – hati ya kalau pulang” pesannya padaku.
“ Oke honey! see you tomorrow sweety!” balasku.
“ Assalamualaikum sayangku!” Lina mengakhiri pembicaraan.
“ Walaikumsalam Honey, cintaku, sayangku, cantikku, manisku!” jawabku sambil tersenyum.
Usai telepon dari Lina dia berpura – pura batuk
“ Ehemehem...! ada habis kangen – kangenan nih ceritanya” katanya padaku sambil menyinggungkan senyum.
“ Ah apaan sih kamu?” kataku sambil ku cubit tangan kanannya.
Aku putuskan untuk mengecek kembali motorku ternyata belum selesai juga penambalan bannya. Aku pun diajaknya kembali ke rumahnya. Kami harus bolak – balik rumahnya ke rumah Pak Bari dua kali, sebelum akhirnya ku putuskan pulang dengan diantar ayahnya.Sesamapinya di rumah ku lepas seragam sekolahku, dan kembali ke rumah Pak Bari dengan Kakak Iparku menggunakan sepeda motor lain yang ada di rumah.
Malam kian larut aku masih saja belum ngantuk sama sekali, tak puas di teras rumahku, ku berjalan selangkah demi selangkah menuju jalan di depan rumahku yang begitu sepi dengan hanya sesekali motor yang lewat. Aku mondar – mandir berjalan di jalanan yang sepi, ku tengok ke barat dari tempat ku berdiri tampak rumah – rumah tetangga yang sudah gelap dan sepi, hanya rental playstation saja yang terlihat masih ramai. Ku tengok ke timur dari tempatku berdiri, ku lihat begitu sebuah pemakaman umum di belakang masjid tampak begitu seram, keadaan pun tampak begitu sepi, hanya sebuah warnet (warung internet) saja yang masih ramai memang warnet tersebut buka 24 jam non stop, tampak juga dari kejauhan penjual warung kopi yang mulai membereskan dagangannya.
Ku lihat handphoneku jam menunjukkan tepat pukul 00.00 dini hari, mataku masih berkaca – kaca membaca surat darinya yang kugenggam di tangan kiriku, ku duduk di teras rumah tetanggaku seraya memandang ke atas melihat bulan purnama yang muncul usai seharian mendung menyelimuti. Ku berkata dalam pelan “ Ya Allah terangilah setiap tidurnya layaknya bulan menerangi malam ini.” Ku terdiam mengingat masa – masa lalu bersamanya, ingatanku menuju pada suatu sore di mana dari sore inilah hatiku mulai memilki perasaan lain pada cewek tersebut.
Pentas seni kian dekat, ini memaksaku untuk bekerja lebih optimal, kebetulan sore aku dan dia berdua bekerja menyelesaikan menulis kuitansi pembayaran di ruang komputer bawah. Perutku tiba – tiba saja berteriak, tenggorokanku pun mulai kering, ku putuskan untuk membeli makan dan minuman di kantin.
“ Aku mau beli jajan dan minuman kamu ingat tidak?” ajakku kepadanya.
“ Waduh! aku di sini sama siapa? takut aku, jangan ditinggal dong!” katanya.
“ La nanti kan ada Mas Opik, orangnya masih shalat di masjid tuh...! kataku sambil menunjuk Mas Opik pegawai sekolah yang bermarkas di ruang komputer bawah.
“ Jangan begitu dong! kalau gitu aku ikut saja deh...kebetulan aku lagi lapar.” balasnya sambil berlari ke arahku dan memegang tanganku.
Aku terkejut dan sedikit melamun saat itu, hingga baru beberapa detik kemudian tiba – tiba saja handphoneku bordering, ku lihat ada satu pesan masuk dari Lia cewek kelas XII di salah satu SMA swasta, “Riz, aku sekarang bisa minta tolong tidak? jemput aku di kost temanku di belakang sekolahmu, aku tunggu di tepi jalan.” katanya lewat pesan singkat. Lia saat itu memang juga begitu akrab dan dekat denganku, selain Lina kekasihku dan Fani, Lia juga semakin membuat hatiku bingung dan bimbang.
Melewati lorong Fani terlihat sangat ketakutan sambil memegang seragam sekolahku,
“ Aku takut banget nih...!” katanya padaku.
“ Takut ada apa saja sih? takut kalau ada kucing?” tanyaku padanya yang memang takut dengan kucing sambil tertawa.
“ Itu sih iya tapi ada satu lagi, cerita dari Vina kemarin.” jelasnya.
“ Cerita apa sih? pasti cerita misteri kan?” ku bertanya kembali.
“ Ya kalau bukan itu apa lagi sih!” balasnya sambil memegangi tanganku.
“ Memang kamu dengarkan cerita apa dari Vina?” kataku.
“ Nanti saja deh...ceritanya, pokoknya seram deh...!” jawabnya dengan wajah agak pucat.
“ Ya deh!” jawabku tersenyum dan balas memegang tangannya.
“ Tenang saja kita harus takut hanya pada Allah, selagi kita mengingat-Nya Insya Allah kita selamat dunia dan akhirat.” ungkapku menenangkan hatinya.
Sesampainya di kantin sekolah kami langsung memborong makanan dan minuman, aku membayar makanannya dan dia yang membayar minumannya. Kebersamaanku yang begitu akrab kontan saja membuat aku dan Fani dijadikan pembicaraan di kantin waktu itu. Kontan saja kami segera memutuskan untuk keluar dari kantin dan kembali ke ruang komputer bawah. Kembali dari kantin, kami kembali melewati lorong yang tadi kami lewati ketika menuju ke kantin, lorong yang berada di belakang kelas X-8 ini memang terkesan menakutkan karena kurangnya penerangan.
“ Kok lewat sini lagi sih?” tanyanya mengeluh.
“ Memang masih takut ya Fan?” tanyaku.
“ Ya! seperti tidak ada jalan lain apa?” ungkapnya.
“ Ah...sudah lah lebih cepat lewat sini lagi daripada muter lagi.” jelasku sambil menunjukkan jari telunjuk ke arah belakang.
Tiba di ruang komputer bawah, aku langsung membuka bungkus kue yang ku beli, sedangkan dia kembali melanjutkan menulis nama – nama siswa pada kwitansi pembayaran. Ku tatap wajahnya dengan penuh perasaan tanpa sepengetahuannya.
“ Fani, kamu tidak makan ini ta?” kataku sambil mendekatkan kue di depannya.
“ Nanti saja aku masih sibuk nih!” balasnya.
Secara sadar atau tidak, tanganku mengambil kue dan mendekatkan ke mulutnya.
“ Ayolah! Aku suapin Kamu deh sambil nulis, dari tadi kamu kan belum makan, nanti kalau sakit bagaimana?” aku merayunya.
Perlahan Dia mulai membuka mulutnya,aku pun memasukkan kue yang ada di tanganku ke mulutnya, seraya melanjutkan menulisnya.
“ Nah! begini kan enak selagi ku suapin makan kue kamu juga masih bisa lanjutin tugasmu.” kataku.
“ Terima kasih deh!” jawabnya sambil menatap wajahku dengan senyumannya.
“ Tadi katanya kamu mau cerita tentang Vina, aku mau dengar nih! aku mau dengar!” kataku.
“ Nanti saja di rumahku saja.” jawabnya.
“ Eh pacar kamu tidak marah lihat kamu nyuapin aku?” tanyanya tersenyum.
Hatiku pun terkejut, mengapa dia bisa bertanya seperti ini.
“ Kan tidak tahu jadi ya tidak apa – apa, daripada nanti kamu sakit karena tidak makan.” balasku.
“ Terima kasih, kamu baik sekali deh!” tambahnya tersenyum manis.
Jam menunjukan pukul 16.40, saatnya bagi kami untuk pulang, seperti biasa aku mengantarkannya pulang. Tiba di rumahnya, dia bercerita mengenai kisah misterius yang dialami Vina beberapa minggu yang lalu. Vina sendiri merupakan teman sekelasnya, baru tiga minggu yang lalu Vina kerasukan di sekolah.
Suatu hari ketika Vina sedang berada di perpustakaan untuk mencari buku, dia menemukan buku dengan sampul berwarna merah, tapi ketika buku itu di buka ternyata semua halamannya kosong tak ada tulisan satu huruf pun. Saat sedang membuka – buka tersebut, tiba – tiba ada yang memegang pundaknya, namun yang memegang pundaknya bukan manusia, melainkan makhluk yang bermuka rata, lebih misterius lagi seketika itu buka yang ada di tangannya tiba – tiba menghilang. Makhluk itu minta buku itu dikembalikan seperti semula, jika tidak makhluk itu akan terus mengahantuinya di sekolah dan sejak saat itu Vina harus berurusan dengan makhluk ghaib tersebut.
Vina menceritakan kepada Fani bahwa dia mengalami kisah – kisah yang aneh bin misterius selama itu. Suatu hati Vina melihat semua teman di kelasnya mengenakan pakaian putih – putih dengan wajah yang pucat dengan mata menggunakan semacam celak hitam. Tak hanya itu saja Vina juga bisa melihat semua setan dan jin yang berada di sekolah, Vina mengatakan pada Fani ada sosok sekeluarga yang menjadi hantu dan bergentayangan di kelas X-7. Hantu tersebut seperti korban kecelakaan dimana mukanya tak jelas karena berlumpuran darah.
Belum selesai cerita ternyata ibunya menghampiri di teras rumah mempersilakan kami untuk makan dahulu.
“ Fan, temanmu ajak makan, ibu sudah siapin di meja makan!” suruh ibunya pada Fani.
“ Ya Bu!” jawabnya.
“ Ayo makan dulu pasti kamu lapar!” ajaknya padaku.
Saat makan ku berharap dia mau melanjutkan ceritanya mengenai kisah misteri yang dialami Vina tersebut.
“ Sambil makan cerita lagi dong tentang Vina aku mau dengarkan lagi!” kataku sambil makan.
“ Ah sudahlah aku takut sendiri nih! takutnya nanti malam kau kepikiran sendiri.” jawabnya.
Adzan maghrib bergema di masjid dari gang sebelah rumahnya, aku lakukan shalat maghrib sebentar setelah itu ku pun putuskan pulang sebelum pulang, ku berpamitan dengan kedua orang tuanya. Dia mengantarkanku hingga ke teras rumahnya, ku jabat dan ku cium tangannya.
“ Ah jangan gitu dong malu dilihatin tetangga.” katanya tersenyum manis.
“ Sorry deh, aku pulang dulu ya cantik! sampai jumpa besok, Assalamualaikum.” ucapku.
“ Walaikumsalam! hati – hati di jalan ya...!” balasnya.
Aku lambaikan tanganku, lambaianku dibalasnya dengan lambaian tangan pula dan tak lupa senyum manisnya. Sesampai di rumah, usai mandi ku lihat handphoneku betapa kagetnya ketika ku lihat 3 panggilan tak terjawab dan 5 pesan pendek dari Lina kekasihku. Ku hanya bisa berkata menyesal, “ Aduh! maaf sayangku, aku tadi lagi sibuk, mau ku telepon dan balas sms mu aku tidak punya pulsa.” kataku pelan.
Jam menunjukan pukul 00.20 WIB aku berjalan mondar – mandir di jalan depan rumahku yang sepi, sesekali sambil ku baca puisi darinya dan ku tatap langit malam yang penuh bintang. “Ya Allah, mengapa aku begitu sulit melupakannya hingga saat ini? padahal aku tak sesulit ini melupakan Nia mantanku.” Ungkapku pelan sambil menatap bulan. “Aku takut jika aku terus memikirannya prestasiku bisa turun. Aku kian bingung dengan hubunganku sama Lina, apalagi perasaanku juga berubah pada Fani dan Lia. Ku ingat kebersamaan dengannya sewaktu mengetik surat izn keamanan di rental komputer.
Hari itu merupakan sebuah hari libur karena bertepatan dengan natal, aku dan dia sudah sepakat untuk mengetik surat izin keamanan itu di rental komputer. Pagi pukul 09.00 kami berangkat dari rumahnya, tampak dia begitu cantik dengan baju lengan panjang putih dan kerudung putih, dengan wangi minyak di sekujur tubuhnya. Sesampai di rental komputer tujuan kami, kami mulai mengerjakan suratnya aku yang mengetik sedangkan dia yang mendikteku. Saat ku lelah ku rebahkan kepalaku ke pundaknya, serta beberapa kali ku pegang tangannya. Dia begitu dengan aman manja kala itu padaku, ku elus pipinya dan ku ajak dia ngobrol membuatnya kami begitu menikmati pekerjaaan.
Usai itu kami langsung menuju sebuah toko roti milik Bu Titik, kami telah mengadakan janji bahwa kami akan menggandeng perusahaan roti itu untuk menjadi sponsor di acara pentas seni. Sesampainya di sana, ku tanyakan kepada salah seorang karyawati apakah Bu Titik ada, karyawati itu menjawab Bu Titik masih ada acara resepsi pernikahan, kami pun kembali dengan kecewa,sebelum kembali ku tinggalkan nomor handphoneku jika perlu dihubungi karena kami memang sudah janjian dengan Bu Titik hari itu.
Siang itu jam 13.00, usai dari toko Bu Titik dan shalat jama’ah dhuhur di masjid agung aku mengajaknya makan siang di sebuah kedai bakso. Dia sebenarnya tidak mau makan tapi ku paksanya karena terlihat dia begitu kelelahan. Aku tak bisa sebuah momen kala itu, dimana aku menyuapinya saat makan, tak hanya itu dia juga balas menyuapi aku. Aku merasa itulah momen dimana hatiku sudah terpaku padanya.
“ Ayo dihabisin dong baksonya nanti keburu dingin!” ajakku padanya.
“ Iya, sudah ditelepon belum sama karyawatinya Bu Titik?” jawabnya dan balas bertanya.
“ Belum sayang! aku suapin sampai habis ya?” jawabku, aku tak sadar pangil dia sayang.
“ Sayang? nanti cewekmu marah gimana?” katanya tersenyum.
Aku hanya bisa cengar – cengir sendiri karena malu. Ku dekatkan sendok pada mulutnya,
“ Ayo Fan, makan lagi tak suapin ya...” ajakku.
Perlahan dia buka mulutnya, ku masukkan ke dalam mulutnya. Lalu dia gantian mendekatkan sendok di mangkoknya pada mulutku.
“ Gantian kamu kan sudah suapin aku, sekarang aku yang suapin kamu, habisin semua bakso di mangkok ini, aku sudah kenyang banget nih!” katanya.
Aku pun buka mulut menerima suapan darinya. Lalu dia bersihkan mulutku dengan tisu yang dia ambil dari hadapannya, sejenak aku terdiam begitu terpesona dengannya.
“Fan, suapan terakhir ya..masih muat kan perutmu?” tanyaku sambil tersenyum
“ Ya deh!” jawabnya sambil membuka mulutnya.
Setelah itu aku balas bersihkan mulutnya dengan tisu. Seketika itu dia tersenyum dan berkata
“Thanks ya traktirannya...”
“Sama – sama kebetulan aku juga lagi lapar Fan” jawabnya.
Pikiranku juga masih segar saat mengingat Dia panggil aku sayang melalui sms. Aku tak pernah tahu apa yang dia pikirkannya dan apa yang dirasakannya saat itu. Tapi yang jelas itu buat aku dan dia semakin dekat dan semakin membuat hatiku bimbang memilih mana yang harus aku cintai dan ku sayangi.
Malam itu aku tersenyum sendiri mengingat masa laluku bersamanya. Malam menjelang pagi dini hari, jam menunjukkan 01.00, mataku masih terbuka lebar. Beberapa saat aku putuskan masuk ke dalam rumah karena udara dingin yang kian menyerang, ku ambil air wudhu dan ku putuskan untuk membaca Al Qur’an. Baru beberapa saat ku baca Al Qur’an ku mulai mengantuk, tak berapa lama ku akhiri membaca dan bersiap tidur untuk merefresh tenaga buat esok.
Pagi itu aku jalani hari seperti biasa dengan bersekolah, namun disekolah tak ada kegiatan belajar mengajar yang ada hanya classmeeting yang diselenggarakan OSIS. Tak terasa pembagian rapot semester dilakukan aku begitu terkejutnya dan seakan tidak percaya ketika mendapat ucapan selamat atas menjadi peringkat pertama paralel se – program Ips. Saat pengumuman resmi aku masih terbelalak melihat namaku berada di peringkat pertama paralel. Aku merasakan bahwa dari si Fanilah aku termotivasi belajarku sehingga ku peroleh hasil yang maksimal pada semester ganjil ini.
Tapi aku juga masih merasa penasaran dan ingin tahu mengenai kelas misterius yang pada hari Minggu masih mengadakan proses belajar mengajar dengan menggunakan pakaian jubah putih. Menurut cerita yang aku dengarkan kelas ini semua penghuninya menjadi korban kecelakaan saat wisata ke Bali beberapa tahun lalu.
Hingga saat ini ku belum bisa mengungkap kisah misteri di sekolah dan mencari isi hati Fani yang sebenarnya padaku, serta sebuah misteri kepada siapa hatiku memilih pilihan antara Lina, Fani atau Lia. Namun aku yakin semuanya akan ku temukan jawabannya suatu hari nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar